Isnin, Jun 07, 2021, 11:46 WIB
Last Updated 2021-08-09T09:24:34Z
Covid-19OpiniPance Kite

Masyarakat Middle Class ; Kelesuan Pasar di Masa Pandemi

 

Hitspali.com--Pandemi Covid-19 masih menghantui kegelisahan masyarakat.Terutama isu terkait munculnya gelombang kedua atau Second Waveyang sempat memporak-porandakan negara India. Munculnya Varian baru Corona virus bermutasi menjadi Covid 19 Varian B1617 yang lebih ganas.Lebih dari 200.000 jiwa meninggal dunia dengan menyisakan ribuan anak yatim di negeri para Resi itu.

Kekhawatiran banyak pakar terkait menyebarnya gelombang kedua virus mematikan ini ke Indonesia cukup beralasan.Setidaknya terdapat kemiripan kondisi masyarakat India dan Indonesia yang denial/menyangkal terhadap aturan. Anjuran protokol kesehatan hanya menjadi pajangan penghias taman-taman kota.

Kemiripan berikutnya adalah karakter masyarakat yang komunal gemar berkumpul. Setidaknya dengan banyaknya muncul kluster-kluster komunitas atau perkumpulan yang menyumbang angka positif covid-19 secara nasional.Sebut saja kluster perkantoran,kluster pasar dan kluster perkumpulan lainnya.

Belajar dari pelbagai pandemi beberapa dekade silam yang menjadi wabah dunia akibat ketidakwaspadaan atau bisa disebut meremehkan atas keganasannya.Seperti wabah Pes,wabah Kolera,wabah Demam Kuning,wabah TBC,wabah HIV/AIDS,wabah SARS dan masih banyak lagi.Pada abad ke-14 wabah pes mencapai kemuncaknya yang kerap dijuluki penyakit black death.Prof Richard W Mansbach menuturkan dalam bukunya PENGANTAR POLITIK GLOBAL.

“Black Death, demikian penyakit itu dikenal, meyebar melalui Italia dan mencapai Prancis tahun berikutnya (1347) dan kemudian Jerman dan Inggris. Dalam waktu kurang dari tiga tahun penduduk Eropa turun sepertiganya, dan sekitar 25 Juta orang mati” (hal 755)

Sebagian besar pendapat menyatakan bahwa, pukulan krisis Covid-19 ini telah memporak-porandakan masyarakat bawah.Selain banyaknya korban jiwa, juga adanya pembatasan sosial yang melumpuhkan kegiatan ekonomi riil.

Karyawan yang terkena PHK, pedagang yang merugi, penjual jasa yang kehilangan customernya dan keterpurukan ekonomi pada profesi lainnya. Sampai-sampai pemerintah kita mengeluarkan bantuan perlindungan sosial bagi mereka yang tergolong ‘MISBAR’ aka Miskin Baru ini.

Tentu saja sebuah sebutan bagi masyarakat yang lumpuh secara pendapatan akibat wabah covid-19. Namun ada satu hal yang terlupa, bukan hanya masyarakat miskin yang perlu diselamatkan. Kita justru melupakan nasib masyarakat middle class income (Masyarakat kelas menengah).

Masyarakat Middle Class, Pilar Ekonomi Terakhir.

Masyarakat kelas menengah adalah mereka yang memiliki pendapatan 2 juta sampai dengan 10 juta per bulannya.Dalam kondisi normal, kelas menengah inilah yang memiliki belanja domestik alias konsumsi rumah tangga paling tinggi. Bahkan kelas menengah pun masih mampu menghabiskan uangnya untuk belanja tersier. Sebagaimana dilansir dari survey Narasi TV pada Februari 2019 bahwa masyarakat middle class menghabiskan uang dengan rincian ; (1) Konsumsi Rumah Tangga 31,8 %, (2) Membayar Cicilan 24,3 %, (3) Hangout 18,5 %, (4) Travelling 14,7 % dan (5) Tuntutan Hobi 10,6%.

Sehingga tidaklah salah bila terdapat argument bahwa roda ekonomi Indonesia bergantung pada konsumsi kelas menengah. Maka, akan sangat berbahaya bila laju konsumsi kelas menengah ini terhambat. Tentu saja dengan menurunnya daya beli masyarakat dapat berefek domino pada perputaran uang di pasar riil menjadi macet. Hal inilah yang menyebabkan pertokoan menjadi tutup, rumah makan gulung tikar dan tak sedikit mall yang pailit.

Gegernya pandemik covid-19 ini semakin menggebuk keterpurukan pasar. Pasalnya kelesuan daya beli masyarakat ditambah pula dengan masyarakat middle class yang menahan laju konsumsi rumah tangganya.Terjadi penghematan absolut sehingga stok komoditas menumpuk tanpa adanya demand sebagaimana biasanya.Hal ini tidak lain alasannya adalah karena konsumen semakin cerdas di era digital ini. 

Sebagaimana ungkapan Agung Adiprasetyo,SE dalam bukunya RAKSASA MATI GAYA “Padahal konsumen hari ini semakin tinggi tuntutannya karena konsumen mempunyai kemewahan untuk memilih lebih banyak” (hal.85)

Salah satu pilihan yang dilakukan konsumen di masa krisis pandemi ini adalah dengan melakukan penghematan. Mereka menahan belanjanya setidaknya karena tiga faktor. Pertama, ketidakpastian soal penghasilan. Kedua, Adanya ancaman pemutusan hubungan kerja. Ketiga, melakukan antisipasi dengan menabung. Sangat banyak ekonom dunia yang mengutuk penghematan absolut dan menabung secara ekstrim. Karena hal ini mengganggu equilibriumatau keseimbangan pasar. Sebagaimana ungkapan Ekonom Cambridge John Maynard Keynes yang ditulis oleh Mark Skousen dalam bukunya SANG MAESTRO “TEORI-TEORI EKONOMI MODERN”.

“Kenaikan tabungan dapat menyusutkan pendapatan dan mengurangi pertumbuhan ekonomi. Konsumsi lebih penting ketimbang produksi untuk mendorong investasi” (hal. 414)

Sebaiknya hal tersebut lekas diantisipasi oleh pemerintah dengan stimulus fiskal agar memunculkan trustmasyarakat pada pasar. Dibutuhkan pengelolaan pasar yang lebih bersahabat dengan suasana pandemi. Kepastian pemberlakuan protokol kesehatan kepada pelaku pasar, percepatan vaksinasi dan digitalisasi kegiatan jual beli bisa menjadi solusi agar masyarakat percaya untuk kembali belanja. Begitupun himbauan kepada para produsen bahwa pertemuan penjual dan pembeli tak harus dengan bertatap muka bisa dengan melakukancreative delivery.


Bahan Bacaan :

1.     Agung Adiprasetyo, Raksasa Mati Gaya, Penerbit Buku Kompas. Jakarta : 201

2.     Mark Skousen, Sang Maestro ; Teori-Teori Ekonomi Modern, Prenada. Jakarta : 2009

3.     Richard W. Mansbach & Kirsten L. Rafferty, Pengantar Politik Global, Nusamedia. Bandung : 2012


Penulis : Teguh Estro

Penulis Buku "Menggugah Kesadaran Sosial Ekonomi"

Direktur RESEI (Research and Social Empowerment Institute)