Isnin, Ogos 09, 2021, 15:22 WIB
Last Updated 2021-08-09T10:04:58Z
Covid-19OpiniPance Kite

Menyiasati Keterbatasan Fiskal di Masa Pandemi

Teguh Estro (Dok.pribadi)

Hitspali.com -- Pandemi ini memiliki sifat extraordinary disaster,banyak korban,penularan cepat dan berdampak multidimensi. Banyak hal-hal baru yang diluar dugaan.Sehingga cenderung memunculkan pembiayaan yang diluar pakem pengadministrasian keuangan. Untuk menopang itu,dibutuhkan struktur anggaran yang lincah,fleksibel dan pelaksanaan yang berintegritas.Akan tetapi sayangnya pola penganggaran keuangan APBN kita masih kaku.Terdapat langkah-langkah administratif yang membuat kerja strategis terasa berat untuk dieksekusi.Bukan hanya Indonesia,negara-negara besar pun kewalahan digebuk oleh krisis kesehatan ini.


Postur APBN perlahan mulai tercekik saat aliran pendapatan negara melambat.Menurunnya pendapatan pemerintah karena pasokan pajak perlahan anjlok.Pembatasan mobilitas manusia (lockdown) menyumbat sumber pendapatan pajak dari sektor penginapan,restoran, pariwisata bahkan kegiatan ekspor dan impor.Melihat kondisi ini membuat strategi fiskal betul-betul menjadi andalan dalam menekan dampak pandemi. Sebagaimana diungkapkan oleh Profesor Peter.S.Heller dari John Hapkins University dikutip oleh Dr. Dyah Purwanti dalam buku MERAMU KEBIJAKAN DI TENGAH PANDEMI COVID-19. 


“Kemampuan suatu negara untuk secara efektif menanggapi pandemik covid-19 dan efek yang menyertainya bergantung pada ruang fiskalnya. Ruang fiskal didefinisikan sebagai “Kapasitas pemerintah untuk menyediakan sumber anggaran tambahan untuk tujuan yang diinginkan tanpa mengurangi keberlanjutan posisi keuangannya”


Salah satu senjata ampuh dalam penyesuaian anggaran adalah melakukan refocusing atau penetapan ulang fokus anggaran baik pusat maupun daerah. Mulai dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa sampai belanja modal dialihkan sebagian untuk belanja kesehatan, perlindungan sosial dan pemulihan ekonomi.Dan tentu saja kesulitan kian dirasakan oleh pemerintah daerah karena ruang gerak fiskal APBD yang terlalu sempit.Hal ini dikarenakan masih besarnya ketergantungan pemerintah daerah pada dana transfer pusat. 


Berdasarkan data dari Perpres no 72 tahun 2020 tentang perubahan atas Perpres nomor 54 tahun 2020 tentang Perubahan postur dan rincian anggaran APBN tahun 2020. Menunjukkan Bahwa secara rata-rata, transfer pusat masih menduduki 63,49 % dalam postur APBD. Artinya kemampuan fiskal daerah hampir mentok. Bila terjadi krisis yang mengakibatkan kontraksi keseimbangan neraca APBN maka langsung berdampak pada hambatan transfer pusat ke daerah. Mengutip ucapan Prof. Dr. Candra Fajri Ananda dalam buku MENUJU KETANGGUHAN EKONOMI. 


“Jika menggunakan Indeks Kapasitas Fiskal  (IKF) daerah sebagai parameter tunggal, ternyata hanya ada tiga provinsi yang kapasitas fiskalnya dapat dikatakan mumpuni (IKF-nya sangat tinggi), yakni DKI Jakarta, Kalimatan Timur dan Papua Barat…” (hal.25)


Guru besar Ekonomi di Universitas Brawijaya tersebut menambahkan sembilan provinsi lainnya masuk kategori tinggi, enam provinsi di kategori sedang dan 16 provinsi sisanya tercecer di kategori IKF rendah. ini menjadi peringatan bagi kita mengenai lemahnya pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah (PAD).


Dan akhirnya di masa krisis kesehatan ini kita mendapat pukulan yang membuat jatuh pasokan pendapatan negara maupun daerah.Dampaknya pemerintah daerah tak punya ruang gerak yang bebas dalam menata skema kebijakan fiskal daerahnya.Setidaknya peruntukkan kebijakan fiskal melaluirefocusing anggaran terbagi menjadi tiga pos utama. 


Pertama pos kesehatan,Kedua pos perlindungan sosial,ketiga pos pemulihan ekonomi. Satu hal yang masih terus dievaluasi adalah skema perlindungan sosial bagi masyarakat terdampak pandemi.Paradigma perlindungan sosial dengan melulu pembagian sembako tampaknya belum menunjukkan hasil yang memuaskan.


Refleksi Kebijakan Perlindungan Sosial

Masyarakat terdampak pandemi tentu sangat membutuhkan jaminan bantuan sosial, setidaknya untuk menyambung hidup. Stimulus fiskal dalam perlindungan sosial tiap-tiap negara beragam wujudnya.Seperti negara adidaya Amerika Serikat yang menggelontorkan anggaran Rp. 3.770 Triliun  untuk perluasan tunjangan pengangguran.Negara Jepang memberikan bantuan tunai senilai Rp. 13 Juta untuk setiap penduduk jepang dan warga negara asing. Singapura memberikan batuan berupa voucher Sembako sebesar 1-3 juta per keluarga. Bagaimana dengan Indonesia ?


Indonesia juga telah menerapkan skema perllindungan sosial yang tidak sedikit. Seperti Program Keluaga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non Tunai, Bantuan Paket Sembako,Diskon Listrik,Subsidi kuota internet di bidang pendidikan dan lain-lain.Untuk pemulihan jangka pendek, maka program-program di atas adalah solusi yang tepat.Namun untuk kepentingan jangka panjang bantuan charity tak bisa diandalkan. Kita membutuhkan ketahanan kesejahteraan keluarga untuk melawan krisis besar yang ada di depan mata beberapa tahun esok.


Krisis Perubahan Iklim sudah menanti dengan daya hancurnya lebih parah dari krisis kesehatan ini. Pemanasan global, bencana alam dengan kategori besar dan frekuensi yang dekat, sampai pada krisis ekonomi dampak disrupsi industri 4.0. Ke depan kita akan melihat lebih banyak korban PHK, lebih banyak penjual yang gulung tikar,Banyakculture shock (Guncangan Budaya) karena akan bermunculan gaya hidup baru akibat adaptasi atas krisis-krisis besar.


Tentu saja ujung-ujungnya permasalahan kesejahteraan sosial.Menurunnya bahkan kehilangan pendapatan, kerentanan masalah kejiwaan yang hadir di usia lebih dini, meningkatnya kriminalitas dan penyimpangan sosial lainnya. Lantas bagaimana skema perlindungan sosial yang perlu disiapkan?


Menurut Bank Dunia sebagaimana dikutip oleh Dr. Abu Huraerah dalam bukunya KEBIJAKAN PERLINDUNGAN SOSIAL. “Bank Dunia mendefinisikan perlindungan sosial sebagai : (1) Jejaring pengamanan dan‘spring board’; (2) investasi pada sumberdaya manusia; (3) Upaya menanggulangi pemisahan sosial; (4) berfokus pada penyebab, bukan pada gejala; dan (5) mempertimbangkan keadaan sebenarnya” (hal.61)


Hal diatas menegaskan bahwa perlindungan sosial tidak bisa disempitkan sebatas bantuan sosial. Namun terdapat lapisan yang lebih fundamental yang bertujuan agar individu, keluarga maupun masyarakat memiliki ketahanan sosial untuk menghadapi krisis-krisis besar.


Waspada Jebakan Hutang (Debt Trap)

Salah satu opsi yang menggiurkan dalam menyiasati krisis kesehatan ini adalah dana pinjaman. Terutama bila membaca analisa epidemiologis bahwa telah  munculnya varian baru dari covid-19, sebut saja varian delta sampai yang terbaru Varian Tetha.Lebih ganas, penularan cepat dan tentu vaksin yang belum tersedia. Tentu saja hal tersebut kian menyudutkan kemampuan fiskal dalam pilihan yang tak banyak. Jika ditambah dengan isu perubahan iklim dalam dekade ke depan yang diprediksi lebih sadis dari pandemic Covid-19. Tentu membuat pemerintah harus memutar otak untuk merestrukturisasi postur APBN agar dapat mengimbangi kepanikan kondisi.Hutang Negara bisa saja akan dipilih menjadi opsi terakhir, tentu dengan mempertimbangkan naiknya laju inflasi setelahnya.


Pinjaman hutang kudu dibarengi dengan optimisme pertumbuhan ekonomi. Sejauh mana hutang tersebut dapat menstimulus naiknya daya beli, produktifitas industri, bertumbuhnya Sumber Daya Manusia dan mengangkat pendapatan negara. 


Sebagaimana ungkapa Ir. Effendi Siradjuddin dalam buku NATION IN TRAP 

“Ekonomi yang berkembang –meningkatkan penerimaan pajak- memungkinkan penyerapan pinjaman (hutang) dan mengembalikan keuangan negara yang berkelanjutan…Kemudian pinjaman (hutang) dapat dilanjutkan jika dapat mendorong pertumbuhan lebih lanjut..” (hal. 139)


Bila pinjaman hutang tidak dibarengi dengan target-target pertumbuhan maka dampaknya adalah “Gagal Bayar”. Banyak negara-negara besar yang bangkrut akibat gagal bayar. Kerajaan Venesia tahun 1490, Genoa tahun 1555, Kekaisaran Spanyol Tahun 1650, Kerajaan Amsterdam tahun 1770 bahkan termasuk negara Yunani pada thun 2015 lalu. 


 Sumber Bacaan :

1.Dr. Abu Huraerah.,M.Si, Kebijakan Perlindungan Sosial, Penerbit Nuansa Cendekia : Bandung. 2019.

2.Badan Kebijakan Fiskal, Dr. Widodo Ramadyanto dkk, Meramu Kebijakan DI Tengah Pandemi Covid-19, PT Gramedia Pustaka Utama : Jakarta 2021.

3.Ir. Siradjudin Efendi, Nation In Trap, ESIR INSTITUTE : Jakarta 2012.

4.Tim INDEF, Menuju Ketangguhan Ekonomi, Penerbit Buku Kompas. Jakarta ; 2017


Oleh : Teguh Estro

Direktur Eksekutif RESEI (Research and Social Empowerment Institute)

Penulis Buku “Menggugah Kesadaran Sosial Ekonomi”