Cerpen oleh : Ayu Puspita Sari
“Hujan lagi.”
Pita menggerutu kesal. Lagi dan lagi, ia terjebak hujan di jalan. Entah sudah keberapa kalinya. Desember memang sudah memasuki musim penghujan. Pita menatap tetesan air dengan bosan. Ingin rasanya menerobos hujan, tetapi ia takut jatuh sakit setelahnya.
“Oke, sabar, Pita. Tunggu satu jam lagi. Kalau hujannya belum berhenti juga, terobos saja,” gumamnya. Ia mengeratkan cardigan di tubuhnya, berusaha menghalau dingin yang menusuk kulit. Tanpa sadar, pandangannya terarah jauh ke depan. Matanya menyipit, berusaha memfokuskan pada satu sosok yang menarik perhatiannya.
“Siapa dia? Sudah tahu hujan, malah sengaja main basah-basahan. Nanti sakit baru tahu rasa,” ucap Pita heran melihat siluet seorang lelaki yang tampak menikmati hujan tanpa peduli risiko.
Semakin lama, sosok lelaki itu semakin dekat. Ia mengenakan atasan berwarna almond dan celana hitam. Lelaki itu kemudian ikut berteduh di teras toko yang sama dengan Pita. Pita memperhatikannya dari atas hingga bawah. Tubuh itu tampak menggigil, tapi bibirnya justru tersenyum.
“Dingin, Kak?” tanya Pita basa-basi.
Lelaki itu menoleh dan tersenyum samar, lalu menggeleng. Tatapan matanya hangat — mata berwarna amber yang belum pernah Pita lihat sebelumnya.
“Maaf, Mbak. Kenapa ya dari tadi menatap saya seperti itu?” tanyanya pelan.
“Nama Kakak siapa?” entah kenapa, pertanyaan Pita justru melenceng.
“Saya Aprisal, panggil saja Isal,” jawabnya sambil mengulurkan tangan.
“Pita. Panggil aku Pita. Mata Kakak bagus, warnanya amber,” puji Pita tulus.
Hari demi hari berlalu sejak pertemuan itu. Mereka kerap bertemu — entah kebetulan, entah takdir yang mempertemukan.
“Permisi, Mbak, ada jaket warna cokelat?”
“Ada, Kak. Tunggu sebentar.”
Begitu Pita menoleh, senyum lebar langsung mengembang di wajahnya.
“Kak Isal, kita ketemu lagi!” sapanya cerah.
“Berapa harganya?”
“Dua ratus ribu, Kak.”
Setelah transaksi selesai, Pita kembali menggoda, “Kak, tahu nggak apa yang paling indah buat aku?”
“Apa?” balas Isal cuek.
“Yang pertama uang, yang kedua mata Kakak,” ujar Pita sambil mengerling nakal.
Aprisal hanya menghela napas, tampak kesal namun tak bisa menahan senyum.
“Selain gombalan receh dan tingkah konyol kamu itu, apa lagi keahlianmu?” tanyanya.
“Mengkhayal, Kak. Sudah sana, pulang. Jangan di sini, nanti aku nggak bisa fokus,” ucap Pita sambil mendorongnya pelan.
Malam harinya, Aprisal duduk di teras kosnya. Rokok di tangan, jam menunjukkan pukul setengah dua dini hari. Asap putih mengepul pelan, menyatu dengan angin malam. Pikirannya bercabang — tentang gadis cerewet bernama Pita, yang entah mengapa selalu muncul di pikirannya.
Di sisi lain, Pita juga tak bisa tidur. Ia gelisah, jantungnya berdetak cepat tanpa sebab. Ia berjalan ke dapur, membuat cokelat panas.
“Semoga bisa tidur,” gumamnya sambil menyeruput perlahan. Namun pikirannya kembali pada satu nama: Aprisal.
Dengan ragu, Pita menekan ikon panggilan. Tak lama, suara di seberang menjawab,
“Kenapa, Ta?”
“Kak, aku nggak bisa tidur,” ucap Pita pelan, lalu mengalihkan panggilan suara menjadi video.
“Kenapa harus video call? Saya sibuk, Pita,” gerutu Isal, namun tetap menerima panggilan itu.
“Aku gelisah, Kak, tapi nggak tahu kenapa,” katanya memelas, menatap mata amber itu.
“Bukan cuma kamu. Saya juga nggak bisa tidur. Sudah, diam. Pejamkan matamu. Nanti juga tertidur,” ucap Aprisal lembut.
Tak ada lagi suara. Hanya keheningan dan pandangan yang saling terhubung. Untuk pertama kalinya, Pita tertidur sambil melakukan panggilan video.
Pagi harinya, Aprisal terbangun lebih dulu. Di layar ponselnya, Pita masih terlelap di bawah selimut.
“Sepertinya, selain hujan, aku juga mulai menyukai ini,” bisiknya sambil tersenyum sebelum mematikan ponsel.
Hari-hari berlalu. Mereka belum bertemu lagi setelah malam itu. Pita tetap menjalani rutinitasnya sebagai karyawan toko baju. Seusai bekerja, ia sering mampir ke warung bakso bersama Mbak Septi, teman sekantornya.
“Bakso satu tanpa mie, satu lagi pakai mie. Minumnya es jeruk dua, ya,” pesan Mbak Septi.
“Siap, Mbak.”
“Pita, kenapa setiap pesan bakso, kamu nggak mau pakai mie?” tanya Septi heran.
“Nggak tahu, nggak suka aja,” jawab Pita santai, menatap langit mendung.
“Tenang, belum tentu hujan. Ingat, mendung belum tentu hujan,” ujar Septi bangga.
“Bukan itu,” gumam Pita pelan. Ia teringat pada pemilik mata amber — tatapan hangat yang selalu muncul setiap hujan datang.
“Menurut Mbak, hujan itu seperti apa?” tanya Pita.
“Hujan itu indah. Banyak orang menantinya dengan suka cita. Kadang orang rela basah hanya untuk menikmatinya, padahal bisa saja cukup dengan melihat dari jauh,” jawab Septi.
Pita tersenyum. “Benar, Mbak. Ada orang yang rela hujan-hujanan, padahal tahu risikonya sakit.”
“Mbak, sepertinya aku menyukai dia,” kata Pita tiba-tiba, senyum kecil tersungging di bibirnya.
Sepulangnya, di tengah jalan, Pita melihat sosok yang dikenalnya.
“Kak Isal!” serunya sambil tersenyum.
“Kenapa, motor Kakak mogok?”
“Iya,” jawab Isal singkat sambil mendorong motornya ke bengkel.
Setelah diperiksa, ternyata mesin harus diperbaiki dan baru bisa selesai besok.
“Kalau begitu, biar aku antar pulang,” tawar Pita.
“Tidak merepotkan?” tanya Isal ragu.
“Enggak, ayo naik. Kapan lagi dibonceng cewek cantik dan rajin menabung kayak aku,” ujarnya bangga.
Dalam perjalanan, Pita banyak bercerita — tentang kerja, teman, dan hal-hal acak. Isal hanya diam, tapi dalam diamnya, ia menikmati suara Pita. Ia tidak suka orang berisik, tapi untuk Pita, ia membuat pengecualian.
“Kak, langitnya makin mendung ya.”
“Biarkan saja. Jalankan motornya.”
“Nanti kalau hujan gimana?”
“Kalau hujan, ya terobos saja. Hujan itu indah,” jawabnya tersenyum.
“Hujan memang indah, tapi juga bisa menyakitkan. Kalau kelamaan, bisa sakit. Dan yang repot ya kita sendiri,” ujar Pita lembut.
Benar saja, hujan turun. Pita melirik Aprisal lewat spion — senyum di wajahnya tak hilang meski tubuhnya basah.
“Kita berhenti di depan,” ucap Isal.
“Kenapa? Katanya mau diterobos saja.”
“Nanti kamu sakit. Kalau saya yang sakit, tidak apa.”
Aprisal melepas jaketnya, memakaikannya pada Pita. Lalu ia menggenggam tangan gadis itu.
“Kenapa begini, Kak?” tanya Pita gugup.
“Kenapa? Tidak boleh?”
Pita menggeleng. “Aku takut salah paham. Aku belum pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya. Dan Kakak yang pertama. Jadi... jangan seperti ini kalau cuma main-main.”
Isal menatapnya dalam.
“Kamu pikir saya main-main? Kamu pikir saya mau repot dengan orang cerewet seperti kamu? Tidak. Tapi kalau itu kamu... saya tidak bisa apa-apa. Saya kalah. Saya ingin pergi, tapi takut senyummu hilang.”
“Jantungmu berdegup cepat saat bersamaku?” tanyanya pelan.
Pita mengangguk.
“Mari kita mulai perjalanan cinta yang indah. Belajar saling mengenal dengan hati yang tulus.”
Pita tersenyum haru. “Bimbing aku, Kak.”
Dan di bawah hujan bulan Desember itu, dua hati yang tak sengaja bertemu kini saling menggenggam.
“Aku berterima kasih pada Tuhan,” ucap Pita lirih, menatap sosok di sampingnya yang kini mengenakan jas pengantin.
“Karena di bulan Desember ini, hujan mempertemukan kita — dalam kehangatan cinta yang tak terlupakan.”

