Lukisan di atas kertas usang itu masih hangat oleh sentuhan kecil Bulan.
“Ibu… coba lihat. Bagus tidak?”
Bulan membawa hasil gambarnya dengan mata berbinar.
“Bulan, ibu lagi kerja. Bisa jangan ganggu dulu?” jawab Ibu Suci tanpa sekalipun mengalihkan pandangan dari laptop.
“Maaf, Ibu…”
Bulan menatap kertasnya yang tiba-tiba terasa lebih kusam, lalu pergi pelan dengan hati yang ikut lemas.
Namun wajahnya kembali berseri ketika melihat ayah baru memasuki rumah.
“Ayahhh!” Ia berlari memeluknya erat. “Yah lihat! Tadi di sekolah Bulan ada tugas menggambar, dan Bulan dapat nilai sempurna. Kata Ibu Guru, gambar Bulan paling bagus!”
Ayah Adi melihat sekilas, lalu mengangguk.
“Bagus.”
Hati Bulan menghangat. Tapi hanya sesaat.
“Namun ini semua tidak berguna, Bulan. Menggambar tidak menjamin masa depanmu. Sudah berapa kali Ayah bilang berhenti menggambar yang tidak ada gunanya. Nilai sekolah kamu merah semua, bikin Ayah malu saat ambil rapor kemarin. Ingat, kalau di semester ini tidak ada kenaikan, kamu Ayah hukum.”
Kehangatan itu seketika padam. Bulan menunduk, memeluk bukunya erat.
“Bulan pikir Ayah akan bangga… ternyata Ayah jahat, sama seperti Ibu…” gumamnya serak.
Hari-hari berlalu cepat. Ujian kenaikan kelas tinggal satu minggu. Setiap pagi Bulan turun dari mobil dengan hati yang seperti tercekik.
“Ingat, Bulan. Belajar yang rajin.”
“Iya, Ayah…” jawabnya lemas—setiap kata sederhana dari mulut Ayah selalu punya bayangan hukuman di belakangnya.
Malam-malam Bulan digantikan rasa takut. Ia belajar sampai larut, menahan kantuk, menahan air mata. Di sekolah ia sering melamun, mengepalkan tangan hingga kukunya melukai kulit. Kadang ia berbicara sendiri. Dan semua itu diam-diam diperhatikan oleh Ibu Vania, wali kelasnya.
Dulu Bulan anak yang ceria. Ia pemalu, tetapi selalu menyapa dan tersenyum. Ada cahaya di matanya.
Sekarang… kosong.
Dan satu hal yang sangat disukai Bulan menghilang: ia tidak pernah menggambar lagi.
“Bulan… Ibu boleh minta tolong?”
Ibu Vania duduk di sampingnya, mengusap rambutnya.
“Bulan mau gambar pemandangan yang indah untuk Ibu?”
Bulan menggigit bibirnya.
“Bulan mau… tapi Bulan tidak bisa.”
“Kenapa tidak bisa, nak? Bukankah kamu pintar menggambar?”
“Kata Ayah… menggambar tidak ada gunanya. Lebih baik Bulan belajar. Tapi Bulan bodoh, Bu… Nilai Bulan selalu jelek. Bulan takut dihukum Ayah…”
Air mata menggenang di mata Ibu Vania.
“Bulan, dengarkan Ibu. Menggambar itu bukan berarti kamu tidak punya masa depan. Banyak seniman hebat di luar sana. Bayangkan kalau nanti kamu punya galeri sendiri, orang datang untuk melihat lukisanmu. Ayah dan Ibu pasti bangga.”
Bulan menangis dalam pelukan hangat itu pelukan pertama yang ia rasakan setelah sekian lama.
Sejak hari itu, secuil cahaya kembali pada diri Bulan. Ia kembali tersenyum, kembali menggambar, meski harus sembunyi-sembunyi.
Hingga hari pengambilan rapor tiba.
Wajah Ayah Adi sudah tegang bahkan sebelum namanya dipanggil. Dari peringkat satu hingga sepuluh, tak ada nama Bulan.
“Apa ini, Bulan? HAH?”
Rapornya dibanting ke arahnya. Bulan gemetar, air matanya jatuh tanpa suara.
“Dari mana sifat bodoh kamu ini, hah!? Ayah dan Ibu tidak bodoh seperti kamu!”
“Sekarang buka bajumu.”
“Ayah… jangan,” Bulan mundur ketakutan. Ibu hanya berdiri menonton tanpa suara.
Ikat pinggang itu melayang berkali-kali di punggungnya.
“Ibu… tolong…”
Namun Ibu Suci hanya memalingkan wajah.
“Masuk kamar. Belajar. Kamu tidak boleh makan sampai besok.”
Hukuman demi hukuman terus terjadi hingga Bulan tumbuh menjadi anak SMP. Dan lukisan pelariannya menjadi semakin terlarang.
Suatu hari, Ibu Suci masuk ke kamar.
“Sudah berapa kali Ayah bilang berhenti melukis?”
Ia merampas buku gambar Bulan.
“Bu… tolong… jangan…”
“Diam, Bulan!”
Saat Ayah datang, tensi rumah membeku.
“Kamu masih menggambar?” tanya Ayah lembut—lembut yang justru lebih menakutkan dari bentakan.
Bulan mengangguk.
“Sudahlah. Istirahatlah.”
Itu pertama kalinya ia tidak dipukul.
Hatinya sempat lega.
Namun malamnya…
Bulan terbangun mencium bau terbakar.
“Ayah? Ibu?”
Ia keluar dan melihat api berkobar di halaman.
“Kamu bangun, sayang. Coba lihat apa yang kita bakar,” ujar Ayah, tersenyum ganjil.
Bulan mendekat dan lututnya lemas.
Semua buku gambar dan alat gambarnya dibakar.
“Ini akibat kamu tidak mendengarkan Ayah,” Ayah tertawa keras. “Karena buku-buku tidak berguna ini kamu jadi bodoh.”
Cahaya di diri Bulan padam lagi.
Berhari-hari ia murung. Sering bolos. Sering menangis sendiri.
Suatu siang, seorang siswi SMA berbaju putih abu duduk di sampingnya.
“Hey, kenapa sendirian dan nangis?”
Ia memberikan sebotol air mineral.
“Tidak ada… hanya lelah,” jawab Bulan lirih.
“Pasti karena tekanan orang tua, ya? Dulu aku juga begitu. Dituntut sempurna. Kalau gagal dicambuk atau dikurung.”
Bulan menatapnya ada sesuatu yang familiar dalam luka itu.
“Tapi kakak terlihat baik-baik saja.”
Perempuan itu tertawa hambar.
“Semua terlihat baik kalau dilihat dari luar, sayang.”
“Namaku Mawar,” katanya sambil tersenyum.
“Aku Bulan.”
“Mau tahu cara bahagia sedikit? Cara biar semua beban itu hilang?”
Bulan menelan ludah. “Bagaimana?”
“Kamu bilang saja alamat rumahmu. Nanti malam kita pergi bersenang-senang. Tapi kamu harus keluar tanpa ketahuan.”
Bulan mengangguk.
“Baik. Mari kita bersenang-senang…”
Pukul sebelas malam, Bulan keluar lewat jendela dengan jantung berdegup kencang.
“Semoga aman…” gumamnya.
Mawar menunggu dengan motor.
“Ada yang lihat kamu?”
“Tidak. Ayo cepat sebelum ketahuan.”
Mereka melaju menembus malam yang dingin.
Bulan berteriak melawan angin,
“Mawar… kita akan ke mana?”
Mawar tertawa.
“Kita akan bersenang-senang. Sebentar lagi kamu akan tahu…”
Malam itu, motor Mawar melaju kencang menembus jalanan sepi. Bulan memeluk tas kecilnya erat, merasakan sensasi angin yang dingin menghantam wajahnya.
“Mawar… kita mau ke mana?” teriaknya melawan suara angin.
Mawar hanya tertawa kecil.
“Tenang. Kau akan merasa bebas sebentar lagi.”
Mereka berhenti di sebuah bangunan tua dekat jembatan. Lampu temaram membuat tempat itu tampak seperti ruang kosong tak bertuan. Mawar mematikan motor dan turun.
“Bulan, duduklah sebentar.”
Ia menyalakan lampu ponselnya.
Di dalam bangunan itu, Bulan melihat mural besar tergantung. Gambar itu indah—surreal—penuh warna gelap. Tapi ada satu hal yang membuat tubuhnya membeku:
Di tengah mural itu, ada wajah dirinya.
Persis. Dengan emosi ketakutan yang pernah ia rasakan bertahun-tahun lalu.
“Apa… ini?” suara Bulan bergetar.
Mawar menatapnya lama.
“Aku sudah mencari kamu selama dua tahun.”
Bulan mengerutkan kening.
“Mencari aku? Kita bahkan baru kenal.”
Mawar menghela napas panjang.
“Kita tidak baru kenal, Bulan. Kamu tidak ingat karena kamu masih kecil waktu itu.”
Bulan mundur perlahan.
“M....maksud kakak?”
Mawar mendekat, suaranya rendah namun stabil.
“Namamu…
dulu bukan Bulan.”
Dunia seolah berhenti.
“Ayah Adi dan Ibu Suci bukan orang tua kandungmu.”
Bulan terpaku.
“A—apa maksud kakak? Jangan bercanda…”
Mawar mengambil sebuah foto lusuh dari tasnya. Dalam foto itu ada seorang perempuan dewasa berwajah sama persis seperti Bulan hidungnya, matanya, senyum kecilnya.
“Ini ibumu. Ibu kandungmu.”
Air mata Bulan jatuh tanpa ia sadari.
“Tidak… ini tidak mungkin…”
“Ibumu menitipkanmu kepadaku,” kata Mawar pelan. “Ibumu korban KDRT parah dari suaminya. Sebelum melarikan diri, ia menitipkan kamu agar tidak ikut jadi korban.”
“Tapi… aku malah tinggal dengan—”
“Ya,” Mawar menunduk.
“Salah satu orang yang menerima anak titipan itu ternyata adalah keluarga Ayah Adi dan Suci. Mereka mengaku sebagai orang tuamu karena… ada keuntungan uang dalam program adopsi ilegal itu.”
Bulan merasakan kepalanya berputar, seperti seluruh lantai hilang di bawah kakinya.
“Mawar… kalau itu benar… kenapa kakak baru datang sekarang?”
Mawar mengusap air matanya sendiri.
“Karena aku—saudara tiri ibumu—ditahan berbulan-bulan di panti sosial setelah berusaha mengambilmu kembali. Ibumu lalu meninggal karena luka-lukanya. Aku… terlambat. Ketika aku bebas, kamu sudah dipindahkan dan namamu diubah.”
Ia memegang bahu Bulan.
“Sejak itu aku mencari kamu. Mural-mural ini… semua berdasarkan ingatan. Aku harap suatu hari kamu akan mengenal diri sendiri.”
Bulan menggeleng-hilang kendali, tubuhnya goyah.
“Tidak… Ayah bilang aku bodoh… Ibu bilang aku ganggu… kalau mereka bukan orang tua kandungku… kenapa mereka menyiksaku?”
Mawar menatapnya dalam, suaranya pecah:
“Karena kamu bukan darah mereka, Bulan. Dan orang seperti mereka… hanya menyayangi apa yang bisa menguntungkan mereka.”
Bulan terjatuh berlutut, menangis pecah seperti anak kecil.
“Jadi selama ini… aku tidak punya siapa-siapa?”
Mawar memeluknya erat.
“Kamu punya aku.
Aku satu-satunya keluarga kandung yang tersisa. Dan aku tidak akan membiarkan mereka menyakitimu lagi.”
Dalam pelukan itu, Bulan akhirnya menangis bukan karena takut—tapi karena untuk pertama kalinya… ia tidak merasa sendirian.

