Ahad, September 06, 2020, 10:08 WIB
Last Updated 2022-07-27T00:33:34Z
Covid-19Opini

Suhu Bumi Naik, Ubah Tatanan Sosial


Ilustrasi

Ilustrasi


HitsPALI -Manusia terancam  punah, planet bumi kian tak bersahabat. Apalagi kalau bukan disebabkan naiknya suhu bumi dan ekosistem menjadi ganas. Karena Manusia terus membakar hutan, pabrik-pabrik industri menghasilkan asap CO2, begitupun gas emisi dari jutaan kendaraan yang merayap di atas planet ini menjadi penyumbang naiknya suhu bumi. Dan ditambah kebergantungan manusia pada listrik dari energi batubara yang membuat tingkat polusi dalam status bahaya.

Dikutip dari The Uninhabitable Earth: Life After Warming (2019), pada 2017, terungkap bahwa dua gletser di Antartika Timur meleleh hingga 18 juta ton per tahun. Hal yang sama terjadi di Greenland. Es di sana meleleh hampir sejuta ton setiap harinya.


Perlahan namun pasti mencairnya es membuat kenaikan permukaan air laut. Ya, inilah fenomena yang paling ditakuti. Sebagaimana kita ketahui bahwa populasi manusia sebagian besar tinggal di daerah pesisir pantai. Termasuk negara Indonesia tercinta yang terkena dampak kepunahan lebih awal. Masih terngiang kala bencana Tsunami di provinsi Aceh pada masa lampau, terdapat tiga pulau yang tenggelam. Dan kini dampak Pemanasan Global terdapat dua pulau lagi yang tenggelam yakni Pulau Betet dan Pulau Gundul di pantai Banyuasin Sumatera Selatan. Dalam buku Nation in Trap karya Ir Effendi Sirajuddin menuliskan “ tiap tahun kita akan terus mengalami kenaikan panas bumi yang mengakibatkan peningkatan permukaan air laut akibat lelehnya es di kutub dan kutub selatan. Jika kutub utara saja mencair seluruhnya, air laut akan naik 60-70 meter, dan akan membuat sebagian besar peradaban dunia hilang” (hal. 118)


Naiknya permukaan air laut sungguh berdampak pada aspek-aspek vital kehidupan manusia. Seperti meningkatnya intensitas hujan di sekitar pesisir laut menjadi sangat tinggi, dampaknya adalah frekuensi banjir yang tak terkendali. Tentu saja penyakit semacam malaria dan demam berdarah akan menghantui di daerah langganan banjir. Selanjutnya terjadi perubahan ekosistem, baik di laut maupun di darat. Migrasi hewan-hewan laut pun akan terjadi secara besar-besaran. Karena tingkat keasinan laut sudah menurun yang disebabkan bertambahnya massa air laut. Banyak fauna laut yang stress dengan ekosistemnya. Dampaknya mempengaruhi perolehan nelayan di pesisir yang mengandalkan sektor perikanan. Begitupun frekuensi angin badai yang meningkat karena terjadi perubahan suhu yang cukup kontras.


Teguh Estro,Penulis Buku "Menggugah Kesadaran Sosial Ekonomi" Direktur RESEI (Research and Social Empowerment Institute)


Dampak lain dari kenaikan suhu bumi adalah terjadinya inkonsistensi perubahan iklim. Di beberapa tempat mengalami musim hujan yang hanya sebentar dan mengalami kekeringan sedangkan di tempat yang berbeda tengah menghadapi banjir besar. Dalam buku Ekonomi Kerakyatan dan Nasionalisme Ekonomi, DR Bernhard Limbong menuliskan  “…Bencana yang terus melanda turut mempengaruhi kondisi peternakan. Apalagi, saat ini kita melihat efek dari global warming yang sudah tidak dapat dikendalikan lagi. Kekurangan air dan pakan menjadi problem utama dari peternakan yang tentu saja tidak dapat dihindari…” Hal 126.


Selanjutnya Doktor alumni Universitas Padjajaran ini menambahkan bahwa Global Warming berpengaruh pada manajemen, feeding dan breeding yang biasa berlaku di dunia peternakan. Contohnya, kebuntingan sapi yang sulit lagi diprediksi karena pakan yang tidak tersedia dengan baik. Atau, musim beternak ayam broiler yang tidak tentu karena cuaca buruk di sepanjang tahun.


Belajar dari Pandemi Covid-19


Pandemi covid-19 merupakan masa-masa bagi kita umat manusia untuk belajar mengenai manajemen krisis sebelum bencana pemanasan global nantinya akan tiba. Wabah corona telah mengubah cara hidup masyarakat secara perlahan-lahan dengan istilah new normal. Ini menjadi pelajaran bagi kita bahwa sebuah bencana besar dapat mengubah tatanan hidup masyarakat secara tiba-tiba. Banyak yang kehilangan pekerjaan, depresi, kepanikan publik atas kebijakan-kebijakan baru. Semua ini sedikit banyak disebabkan oleh cara hidup manusia yang tak bersahabat dengan alam. Manusia bersenang-senang di atas planet ini dengan menghasilkan limbah sampah dan gas CO2 yang tinggi. Gaya hidup perkotaan yang tak sehat inilah dikhawatirkan bisa memunculkan efek domino pada lingkungan. Dalam buku Kebijakan Tidak Untuk Publik, Fadillah Putra, S.IP menyebutkan “Lingkungan yang tidak sehat dari masyarakat perkotaan ini pada gilirannya akan berdampak besar pada sisi sosiologis dan psikologis. Lingkungan yang tidak segar dan tidak nyaman di perkotaan ini mengkonstruksi pelbagai patologi sosial di masyarakat. Meningkatnya angka kriminalitas tak terhindarkan, sebagai akibat dari kebijakan publik yang serakah dan tak sensitif lingkungan” hal. 145


Analisa sosial seperti ini kerap diabaikan karena pembahasannya tak meberikan keuntungan materiil. Namun setidaknya kita menyadari bahwa manusia tengah di ujung tanduk pilihan peradaban. Cara hidup kita lah yang akan menjadi jawaban cepat atau lambatnya bencana pemanasan global akan tiba. Ragam kampanye untuk perubahan sudah digaungkan namun sepi respon dari masyarakat. Seperti kampanye “Stop Sampah Plastik”, Kurangi kendaraan pribadi dengan penggunaan “Transportasi Publik”, Gerakan menanam pohon dan masih banyak lagi.



Bahan Bacaan :

1. Buku Nation in Trap karya Ir. Effendi Srajuddin

2. Buku Ekonomi Kerakyatan dan Nasionalisme Ekonomi karya DR. Bernhard Limbong

3. Buku Kebijakan Tidak Untuk Publik Karya Fadillah Putra, S.IP