Khamis, Mac 30, 2023, 18:04 WIB
Last Updated 2023-03-30T14:00:22Z
FotoTrending

Analisa Sosial-Perkotaan Kawasan Simpang Limo Kabupaten PALI


Teguh Estro Penulis Sekaligus Pendiri RESEI PALI | Foto : dok.pribadi

Space Injustice (Ketidak adilan tata ruang)


Permasalahan public Space adalah urusan utama di kawasan ini, kurangnya akomodasi terhadap kebutuhan publik seperti tempat parkir terpadu, irigasi, pedestrian, pengaturan lalu lintas, petugas lalu lintas, Zero garden. Akhirnya publik mengatur sendiri secara sporadis. Hal inilah yang menelurkan benang kusut yang tak tahu harus mulai dari mana mengurainya.


Semisal soal parkir di jalur perniagaan yang tak akomodatif menyebabkan sengkarut  trafik yang jarang disentuh oleh petugas. Hal ini cukup mengkhawatirkan bila terjadi stuck di hari-hari sibuk atau terdapat perayaan. Mengingat minimnya jalur alternatif yang dapat mengakomodir mobilisasi kendaraan khususnya roda empat.


Begitupun perihal pedestrian yang sudah lama "dicuri" oleh para pelapak. Hal ini cukup meresahkan karena fungsi pedestrian di kawasan simpang limo telah hilang. Beberapa tahun terakhir masyarakat ring pertama kawasan simpang limo sudah enggan berjalan kaki menuju pusat kota pendopo tersebut. Karena hak mereka sebagai pejalan kaki telah dirampas.


Sebagai mana Dr Adon Nasrullah dalam bukuSOSIOLOGI PERKOTAAN Mengutip ucapan Dr. Tadjudin Noer Effendi ;


“Trotoar dan bahu jalan, terutama di lokasi keramaian kota, dipenuhi oleh pelaku sektor informal PKL. Hal ini karena PKL dalam memilih lokasi bagi aktivitas usahanya akan berusaha untuk selalu mendekati pasar atau pembeli. Mereka berusaha agar barang atau jasa yang dijual terlihat oleh pembeli” (hal 295)


 


Human Oriented vs Car Oriented


Kawasan Simpang Limo sebagai Meeting Point (titik temu) dari berbagai penjuru mobilitas di kabupaten PALI harus memperhitungkan kemampuan demografis kawasan ini. Kita harus menganalisa Daya tampung kawasan terhadap pergerakan kendaraan bila kegiatan ekonomi meningkat bahkan saat jumlah penduduk khususnya pendatang mulai bertambah pada 5 – 10 tahun mendatang.


Seharusnya kedepan kita sudah berbicara mengenai moda transportasi publik di Kawasan Simpang Limo. Saat ini hampir seluruh kendaraan yang melintas di pusat kota Talang Ubi ini adalah kendaraan pribadi. Dan sebagian besar jalur jalan merdeka (dari arah talang ubi bawah) menuju akses jalan kebon sayur adalah trafik tertinggi. Kerap terjadi penumpukan moda transportasi di garis ini.


Bila kegiatan ekonomi bertambah maka akan menjadi magnet bagi konsumen yang notabene membawa kendaraan masing-masing. Peningkatan 50% saja, bisa membuat simpang limo lumpuh suatu saat nanti. Belum lagi bila jumlah penduduk naik, khususnya kawasan Talang Nanas ke Utara yang mulai ramai pengembang perumahan. Hal ini senada dengan pendapat Dr. A Sony Keraf dalam buku EKONOMI SIRKULER, SOLUSI KRISIS BUMI :


“Dengan beralih ke moda transportasi umum, dimaksudkan pula untuk mencegah kemacaten di dalam kota, yang mengganggu secara sosial (waktu banyak terbuang), mengganggu secara mental dan merusak secara fisik karena duduk berlama-lama dalam mobil” (hal. 218)


Kekhawatiran kita nantinya adalah tingkat penambahan jumlah kendaraan di kawasan Talang Ubi jauh lebih tinggi daripada tingkat penambahan ruas jalan baru. Berkaca pada kota-kota pada umumnya biasanya jumlah penambahan kendaraan pribadi meningkat dua kali lipat daripada tingkat penambahan ruas jalan. Bila kita terlambat mengeksekusi moda transportasi publik maka ada banyak kerugian yang akan diperoleh.


Pertama, harga pembebasan lahan yang semakin tinggi bila gagasan transportasi publik baru akan dilaksanakan pada 10 tahun kedepan. Karena trnasportasi publik akan menuntut terjadi pelebaran jalan.


Kedua, Jumlah kendaraan pribadi sudah terlalu banyak pada tahun-tahun mendatang. Sehingga membuat masyarakat menjadikan transportasi publik hanya sebatas pilihan saja. Karena mereka sudah memiliki armada sendiri untuk mobilitas.


Ketiga, semakin sedikitnya alternatif ruang publik yang akan dikonversi menjadi ruas jalan umum. Hal ini karena kian ramai pelapak, toko niaga, yang akan memenuhi jalur utama di kawasan simpang limo.


Level Masyarakat yang belum “Masyarakat Kota”


Pusat kota adalah titik atau tempat atau daerah di suatu kota yang memiliki peran sebagai pusat dari segala pelayanan kegiatan kota, antara lain politik, sosial, budaya, ekonomi dan teknologi (Hadi Yunus, 2002 : 107)


Kota bukan hanya akumulasi bangunan dan jalan, namun juga ekosistem yang meliputi pelaku sosial, ekonomi dan lingkungan ekologis di sekitarnya. Ada banyak variabel yang penting dibangun selain membangun fisik perkotaan. Sebuah retoris, siapkah kota Talang Ubi menyokong nafas kehidupan kota di masa mendatang ? Pusat produksi, pusat niaga, pusat kegiatan politik dan pusat administrasi publik akan bertumpuk di kota Talang Ubi.


Agar pembangunan pusat kota bisa dilaksanakan dengan partisipasi masyarakat maka dibutuhkan level masyarakat kota yang berbeda dari sekarang. Masyarakat yang memiliki kedewasaan dalam bertransportasi Publik, pengalaman memanfaatkan pedestrian, pengalaman hidup dalam hiruk-pikuk politik, pengalaman mengelola perbedaan masyarakat nan heterogen dan sebagainya. 


Daerah Endemik Deviasi Sosial di Sekitar Kawasan Simpang Limo


Penyimpangan sosial atau deviasi sosial memang mudah berkembang di pusat perkotaan, karena kriminalitas perlu dukungan mobilitas kota yang tinggi. Dalam satu atau dua dekade lalu kota Talang Ubi ini memiliki daerah endemik deviasi sosial, yakni Talang Pipa, Talang Nanas dan Talang Ojan. Namun saat ini daerah tersebut telah merias diri, Talang Pipa menjadi kawasan perekonomian, Talang Nanas menjadi daerah pengembangan pemukiman/perumahan baru dan Talang Ojan kawasan lintas antar kota/kabupaten. Akan tetapi perubahan tiga kawasan ini tak serta merta menghapus habit penyimpangan perilaku seratus persen.


Analisa harus dilakukan lebih dalam lagi terhadap ragam penyakit sosial di sekitar kawasan simpang limo ini. Terutama masalah sosial berupa konsumsi zat adiktif, pencurian dan pernikahan dibawah umur akibat seks bebas (belarian). Apakah mereka melakukan penyimpangan secara independen?


Kriminalitas khas perkotaan biasanya muncul secara laten, terorganisir dan memangsa masyarakat sejak usia muda. Sehingga sangat rentan menyasar masyarakat yang mudah tergiur, mudah terpengaruh atau masyarakat yang mudah dikuasai. Masyarakat seperti ini muncul akibat rendahnya tingkat pendidikan, lemahnya daya ekonomi, sedang mengalami pengucilan dan butuh pengakuan atau gabungan dari faktor ini semua.


Prof Paulus Wirutomo dalam buku IMAJINASI SOSIOLOGI, PEMBANGUNAN SOSIETAL ;


“ Terdapat Masalah yang lebih mendasar, yaitu kesenjangan sosial. Seringkali pemerintah bahkan masyarakat, menyalahkan pelaku yang menyebabkan masalah sosial tersebut. Padahal sebenarnya mereka adalah korban dari kondisi kehidupan sosial itu sendiri, seperti misalnya struktur dan/atau kultur yang senjang dan tidak adil…”(hal. 118)


Kedepannya harus lebih banyak intervensi pembangunan sumber daya manusia di tiga daerah endemik penyakit sosial di sekitar kawasan simpang limo ini. Agar terwujud keadilan ekonomi, pemerataan tingkat pendidikan dan terwujudnya solidaritas sosial. Penulis mencatat upaya ini dilakukan secara aktif oleh pemerintah kabupaten PALI. Akhir-akhir ini terdapat bantuan dari Dinas PUTR, Disperindag dan Dinas Sosial di awal tahun 2023. Stimulan dari pemerintah ini tentu ditujukan agar terpenuhinya kebutuhan primer masyarakat. Pemenuhan kebutuhan hidup adalah pintu utama untuk menekan kriminalitas. Hal ini senada dengan pendapat Dr. Paisol Burlian dalam buku PATOLOGI SOSIAL DAN MASALAH SOSIAL ;


“Salah satu penyebab utama timbulnya masalah sosial adalah pemenuhan akan kebutuhan hidup. Maksudnya adalah bahwa jika seseorang gagal memenuhi kebutuhan hidupnya, ia akan cenderung melakukan tindakan kejahatan dan kekerasan seperti mencuri, berjudi dan lain sebagainya” (hal. 17)


Pemberdayaan Sosial sebagai upaya memajukan Kawasan Simpang Limo.


Dengan mengangkat potensi yang terpendam di masyarakat. Setidaknya terdapat tiga modal yang harus diberdayakan yakni, Human Capital, Social Capital dan Culture Capital.


Selama ini kita kerap memisahkan pembangunan sosial dari derasnya pembangunan ekonomi di masyarakat. Selama ini pembangunan kerap mengukur outputnya dengan pertumbuhan ekonomi harus diimbangi dengan indikator sosial yakni peningkatan level Social empowerment.


Begitu juga selama ini harus diubah  orientasi pembangunan khususnya sektor fiskal dengan mengandalkan trickle down effect diharapkan berubah menuju orientasi pembangunan yang memasukkan variabel capacity building di masyarakat. Sudah seberapa masyarakat yang meningkat solidaritas sosialnya, meningkat kemampuan produksi komoditi lokalnya, meningkat kesadaran ekologisnya. Sehingga pembangunan yang berorientasi peningkatan modal sosial ini dapat menguatkan pemajuan kawasan simpang limo.


Daftar Bacaan :


1. Adon Nasrullah Jamaludin, SOSIOLOGI PERKOTAAN, Memahami masyarakat kota dan problematikanya, Pustaka Setia ; Bandung, 2017


2. A. Sony Keraf, EKONOMI SIRKULER, Solusi Krisis Bumi, Kompas; Jakarta, 2022


3. Paisol Burlian, PATOLOGI SOSIAL, Bumi Aksara ; Jakarta, 2016.


4. Paulus Wirutomo, IMAJINASI SOSIOLOGI, PEMBANGUNAN SOSIETAL, Kompas ; Jakarta, 2022