Ahad, Mei 14, 2023, 14:29 WIB
Last Updated 2023-05-14T07:33:17Z
DaerahFotoNasionalOpiniTrending

Politik Uang, Siapa yang Salah?

Foto : ist

Euforia Pemilu 2024 sudah kian terasa. Gegap gempita pesta demokrasi untuk menyeleksi dan memilih para penguasa, baik di eksekutif (Pilpres dan Pilkada) maupun di institusi legislatif (Pemilihan DPRD, DPR RI, dan DPD) mulai bergema di pusat dan di daerah. Para politisi mulai menghidupkan mesin politik. Seiring tahapan penyelenggaraan yang terus berjalan. Masyarakat pun bergeming, turut larut dalam riuh kontestasi.

Semaraknya event lima tahunan itu, dipastikan akan makin meriah hingga pelaksanaan Pemilu yakni pada 14 Februari 2024, tiba. Angin segar perubahan kepada sistem bernegara yang semakin baik, gagasan-gagasan menarik untuk kesejahteraan rakyat, kian kencang dihembuskan para kandidat calon Presiden, bakal calon kepala daerah dan bakal calon legislatif. Partai politik pun makin intens berkonsolidasi, menyusun strategi koalisi, guna meraih kemenangan mutlak.

Nah, di antara keriuhan hajatan politik tersebut, ada istilah yang kerap disebut: money politic atau politik uang. Tak bisa kita tampik, kultur negatif itu mungkin saja sudah dianggap sebagai hal yang biasa dan lumrah. Sejak era reformasi, politik uang jadi hal yang kian kerap dilakukan, sebagai bagian dari cara untuk mendulang suara, terutama pada pemilihan secara langsung oleh masyarakat.

Politik uang yang menjelma menjadi suatu keniscayaan itu, kemudian menjadi sebuah akar persoalan bangsa. Karena pemimpin yang diberi amanah, ternyata jadi tak bisa sepenuhnya patuh pada sumpah jabatan. Sebab, pada sistem politik uang, kekuasaan yang diemban berpotensi menjadi cara untuk memperoleh keuntungan semata. Persis prinsip dagang; mengeluarkan modal untuk mendapat keuntungan.

Ada banyak sekali orang-orang yang merasa prihatin, dan menyayangkan terjadinya money politic atau politik uang. Namun begitu, bak sebuah penyakit yang sudah akut. Money politic ini bukanlah perkara yang mudah untuk disembuhkan. Lalu, sebenarnya siapa yang salah? Bagaimana politik uang bisa dihapuskan? Apakah mungkin?

J. Sadewo,S.H.,M.H.

Melalui tulisan yang sederhana ini, penulis berharap bisa memberikan sumbangsih pendapat dan ide. Setidaknya, secara bertahap, budaya buruk lagi jahat berupa politik uang, diharap bisa diminimalisir. Sehingga beragam persoalan turunan lainnya, juga dapat di berantas secara signifikan.

Seperti sebuah teka teki: “lebih dulu ada ayam atau dahulu telur? Begitulah perdebatan tentang politik uang bergulir. “Salah politisi yang memberi uang, atau salah pemilih yang meminta uang?” kedua hal itu bak rantai sistem yang terus berputar. Tak tahu lagi mana ujung pangkalnya.

Mengapa begitu?

Politik uang bisa jadi sebenarnya adalah hukuman sosial bagi pemimpin yang dipercaya, namun tidak amanah. Ketika suatu saat ia kembali mencalonkan diri, maka pemilihnya mensyaratkan uang sebagai mahar bila ia mau dipilih lagi. Sebab, di saat ia berkuasa, ia lupa; ada suara-suara yang harus diperjuangkan, ada janji-janji yang harus ditunaikan. Maka, jadilah pemilu seperti pasar, tempat suara diperjual belikan.

Begitu pun sebaliknya. Para pejabat yang terpilih dari hasil membeli suara. Takkan mempunyai simpati dan empati pada para pemilihnya. Ia akan masa bodoh pada konstituen, karena merasa kemenangan yang ia peroleh didapat dari hasil politik traksaksional. Di dapat dari membeli dengan harga yang tak murah. Oleh karenanya, ia akan fokus mencari uang, untuk mengembalikan modal dan meraup keuntungan.

Begitulah jahatnya politik uang. Benih-benih yang ditanam saat Pemilu akan dituai setelahnya. Korupsi, kolusi, nepotisme, gratifikasi, pembangunan yang mangkrak, aspirasi rakyat yang terabaikan, dan lain-lain. Siapa yang sengsara? Keduanya! Rakyat menderita karena kesejahteraan hanya tertulis di spanduk, baliho kampanye saja. Dan pejabat jahat akan dihantui ganjaran karena melakukan perbuatan melanggar hukum.

Maka, mari bersepakat untuk sudahi politik uang. Sudah saatnya kita berbenah dan memperbaiki sistem di negeri ini. Kita beri kesempatan tokoh-tokoh potensial untuk menjalankan kepercayaan kita sebagai pemimpin yang amanah. Jangan dipilih calon pemimpin yang suka beli suara, tapi kemudian berkhianat. Jangan pernah beri uang pemilih yang meminta imbalan, karena belum tentu juga ia akan memilih Anda.

Ayo objektif; pelajari rekam jejaknya, ketahui karakteristiknya. Masih ada harapan negara kita jadi semakin baik. Yakin kita bisa; sukseskan Pemilu 2024!!**

Penulis : J. Sadewo,S.H.,M.H. [Jurnalis, Advokat, Pengamat Sosbudpol)
Artikel telah tayang  di kabarpali.com