Namaku Rian Firmansyah, kelas XI IPA 1 di salah satu Sekolah Menengah Atas di Kabupaten PALI.
Aku bukan murid paling pinter, bukan juga paling ganteng. Aku cuma cowok biasa yang datang pagi, duduk di baris tengah, ngerjain PR seadanya, dan paling semangat kalau bel istirahat bunyi.
Temanku ada dua yang paling deket, Bagas si paling ngelucu, dan Lani cewek cerewet tapi baik hati.
Hari-hari kami di sekolah berjalan datar-datar aja. Sampai suatu hari, Bu Indri, wali kelas kami, masuk sambil membawa seorang cewek baru.
“Anak-anak, ini teman baru kalian. Namanya Nadia Prameswari, pindahan dari Bandung. Tolong diterima ya.”
Kelas langsung heboh. Anak cowok pada bisik-bisik, “Dari Bandung, bro! Pasti keren nih!”
Dan benar saja, Nadia itu kayak versi hidup dari lagu akustik sore hari—rambut panjang, kulit cerah, senyum kalem.
“Baik, Nadia duduk di sebelah... Rian, ya. Nomor absen 21 dan 22. Pas banget,” kata Bu Indri.
Seketika, satu kelas bersorak,
“Wuuuuuuu... cieee Rian!”
Aku cuma bisa senyum kaku. Dalam hati, aku tahu... ini bakal panjang.
Hari pertama duduk bareng, aku berusaha tenang. Tapi tangan gemetaran kayak habis minum lima gelas kopi.
Nadia buka buku matematika, terus nanya pelan,
“Rian, kamu ngerti gak soal integral ini?”
Aku nengok sebentar, terus sok pinter,
“Ngerti sih... dikit.”
“Bisa jelasin?”
“Ngerti aja belum tentu bisa jelasin.”
Dia ketawa kecil. Dan entah kenapa, tawa itu bikin jantungku kayak drum marching band.
Sejak itu, kami sering ngobrol. Kadang tukar bekal, kadang saling godain.
Sampai akhirnya gosip mulai beredar.
Suatu pagi, Lani datang dengan ekspresi panik.
“Rian! Kamu tahu gak? Kamu viral di grup cewek kelas sebelah!”
“Viral kenapa?”
“Katanya kamu naksir Nadia! Nih liat!”
Dia nunjukin foto aku dan Nadia dari belakang. Caption-nya:
“Pasangan absen baru 😆❤️”
Aku langsung pengen pindah planet.
“Siapa yang nyebarin, Lan?”
“Gak tau, tapi udah rame!”
Sejak itu, tiap aku lewat koridor, semua nyengir.
“Ciee Rian!”
“Absen 21 dan 22 duduk bareng, duduk di hati juga gak, bro?”
Bahkan guru olahraga pernah nyeletuk,
“Rian, gak usah lari keliling lapangan. Nanti Nadia nyariin.”
Nadia sih santai aja, cuma bilang,
“Biarin, toh duduk sebelah kamu gak dosa kan?”
Dan aku cuma bisa nyengir bego.
Beberapa minggu kemudian, Bu Indri ngumumin kalau sekolah bakal ngadain lomba drama komedi untuk Hari Guru.
Kelas kami diwajibkan ikut.
“Bu, saya siap jadi sutradara!” seru Bagas semangat.
Lalu tanpa musyawarah, mereka langsung tunjuk aku dan Nadia jadi pemeran utama.
“Kenapa aku?”
“Karena ceritanya tentang dua murid yang pura-pura gak suka tapi sebenarnya saling naksir,” kata Lani sambil ngakak.
“Cocok banget kan?” timpal Bagas.
Aku cuma bisa pasrah. Tapi Nadia malah semangat.
“Seru kok, biar sekalian buktiin gosip itu cuma akting.”
Latihan pun dimulai.
Setiap kali kami latihan adegan terakhir—bagian cowok bilang, “Aku gak mau pura-pura. Aku suka kamu beneran.”—aku selalu deg-degan.
Dan di latihan terakhir, entah kenapa aku kelepasan ngomong pake perasaan.
“Aku gak mau pura-pura. Aku suka kamu beneran, Nad.”
Kelas langsung hening.
Nadia juga bengong.
Lalu dia senyum kecil dan jawab pelan,
“Ya udah, jangan pura-pura lagi.”
Seketika satu kelas meledak,
“WOYYYY INI AKTING APA ASLI!?”
Bagas teriak dari belakang,
“CUT! Tapi... kok chemistry-nya nyata banget ya?”
Aku cuma bisa garuk kepala. Tapi jujur... waktu itu aku tahu, aku beneran suka.
Hari lomba tiba. Aula sekolah penuh sesak.
Kami tampil terakhir, dan suasananya heboh.
Adegan demi adegan berjalan lancar, semua penonton ketawa.
Sampai masuk adegan terakhir. Aku menatap Nadia, lalu berkata kalimat yang sudah kuhafal mati-matian,
“Aku gak mau pura-pura. Aku suka kamu beneran.”
Aula mendadak hening.
Nadia tersenyum dan membalas,
“Ya udah, jangan pura-pura lagi.”
Penonton langsung bersorak,
“CIEEEEEEEEEEEEEEEEEEE!”
“INI DRAMA ATAU DEKLARASI CINTA NIH!”
Guru-guru ketawa, Bagas loncat di belakang panggung.
Kelas kami dapet tepuk tangan paling meriah hari itu.
Tapi aku tahu... di balik semua tawa itu, hatiku deg-degan beneran.
Sore harinya, setelah semua selesai, aku duduk di tangga aula.
Masih pakai kostum drama yang belepotan tepung.
Nadia datang sambil bawa dua minuman stroberi.
“Minum dulu, aktor utama. Capek banget jadi bahan gosip satu sekolah?”
“Udah biasa. Tinggal nunggu diserbu wartawan aja.”
Kami duduk lama, menikmati sore Talang Ubi yang adem.
Lalu Nadia nanya pelan,
“Rian... tadi di panggung itu, kamu serius gak?”
“Kalau aku bilang iya, kamu bakal marah?”
“Enggak sih. Cuma kaget.”
“Yaudah. Aku emang suka kamu, Nad.”
Dia diam sebentar, lalu tersenyum kecil.
“Aku seneng denger kamu jujur. Tapi aku belum bisa suka balik. Aku masih pengen adaptasi dulu di sini.”
Aku ngangguk pelan.
“Gak apa-apa. Yang penting aku udah bilang. Toh kita udah bikin kenangan yang gak bakal dilupain.”
Kami sama-sama ketawa kecil.
Sore itu, gak ada yang canggung. Cuma dua anak SMA yang pernah bikin panggung jadi saksi jujur perasaan sederhana.
Beberapa minggu kemudian, aku lihat papan pengumuman di depan kelas.
Ada daftar siswa yang pindah sekolah.
Di baris terakhir tertulis:
Nadia Prameswari – kembali ke Bandung.
Aku baca berkali-kali. Rasanya kayak disuruh ngerjain ujian fisika tanpa rumus.
Hari terakhirnya di sekolah, dia datang dengan seragam rapi.
“Rian, aku balik ke Bandung minggu depan. Papa dipindahin lagi.”
Aku berusaha santai,
“Berarti nomor absen 22 kosong dong.”
“Enggak, tetap aku. Kamu aja yang harus inget.”
Dia ngasih aku selembar kertas kecil.
Isinya cuma satu kalimat:
“Terima kasih udah jujur, Rian. Dunia butuh orang kayak kamu.”
Dan setelah itu, dia pergi.
Sejak hari itu, setiap aku liat daftar absen, mataku selalu berhenti di dua nomor itu—
21 dan 22.
Berurutan, berdekatan, tapi tetap dua nama yang berbeda.
Cinta SMA itu lucu.
Kadang gak sampai, tapi selalu berbekas.
Kayak satu baris absen—gak harus bersebelahan selamanya, cukup pernah tercatat bersama.
(Ali bin Abi Gaol)

